google BUZZ

Kamis, 17 Juni 2010

NASKAH DRAMA PUTI BUNGSU DALAM TINJAUAN DEKONSTRUKSI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Drama adalah salah satu cabang seni yang dapat dikatakan ‘paling kaya’ karena kalau seni sastra menggunakan kata-kata sebagai medium; kalau seni suara mempergunakan nada; kalau seni lukis mempergunakan garis, bidang, dan warna; kalau seni tari mempergunakan gerak; maka drama mempergunakan semua itu dan banyak lagi. Itulah sebabnya drama atau teater dapat dikatakan seni yang mempergunakan multimedia.
Sebelum sebuah drama ditampilkan, seluruh adegan dalam drama berpatokan pada suatu naskah yang dinamakan naskah drama. Dalam naskah drama inilah segala sesuatu, seperti latar, dialog, penokohan, dsb dapat dilihat dan dikaji dengan jelas. Begitu juga dalam naskah drama Puti Bungsu.
Yang jauh lebih dalam dan lebih menarik dalam naskah Puti Bungsu ini adalah pendekonstruksian tokoh-tokoh cerita rakyat Minangkabau seperti Puti Bungsu, Malin Kundang, Malin Deman sehingga menjadi tokoh-tokoh dalam drama. Perwatakan, asal-usul, serta latar belakang semua tokoh dalam naskah drama Puti Bungsu memang agak berbeda dengan tokoh dalam cerita rakyat asli, namun hal inilah yang bagi kami menarik untuk dikaji lebih dalam.





BAB II
LANDASAN TEORI

1. TEORI DRAMA
A. Definisi Drama
Dari segi etimologinya, kata drama berasal dari bahasa Greek; tegasnya dari kata kerja dran yang berarti “berbuat, to act atau to do”. (Morris 1964:476). Jadi drama mengutamakan gerak atau perbuatan yang merupakan inti hakekat setiap drama. Moulton mengatakan bahwa “drama adalah hidup yang ditampikan dalam gerak” (life presented informasi action) ataupun batin.
Batasan atau keterangan mengenai drama ini memang telah banyak dikemukakan oleh para penulis. Dalam “The America College Dictionary” dijelaskan bahwa
Drama :
1. suatu karangan dalam prosa atau puisi yang menyajikan dalam dialog atau pantomim suatu ceritera yang mengandung konflik atau kontra seseorang tokoh; terutama sekali suatu ceritera yang diperuntukkan buat dipentaskan di atas panggung; suatu lakon.
2. cabang sastra yang mengadung komposisi-komposisi yang sedemikian sebagai subjeknya
3. seni yang menggarap lakon-lakon mulai sejak penulisan sampai produksi terakhir
4. setiap rangkaian kejadian yang mengandung hal-hal atau akibat-akibat yang menarik hal secara dramatik.

Drama pada umumnya dimaksudkan untuk memenuhi pengertian yang wajar, yaitu sesuatu yang harus diinterpretasikan oleh para aktor, dan pada zaman modern ini, sesuatu itu lebih merupakan suatu percakapan yang harus diucapkan.
Apabila menyebut istilah drama, maka kita berhadapan dengan dua kemungkinan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Keduanya bersumber drama naskah drama. Menurut Herman Waluyo, drama berarti perbuatan, tindakan atau beraksi. Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau apakah drama sebagai salahs atu genre sastra, ataukah drama itu sebagai cabang seni yang mandiri.

B. Struktur Drama Naskah
Drama naskah disebut juga sastra lakon. Sebagai salah satu genre sastra, drama naskah dibangun oleh dua struktur, yakni; struktur fisik (kebahasaan) dan strutur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah adalah dialog atau ragam tutur. Ragam tutur ini adalah ragam sastra. Oleh karena itu, bahasa dan maknanya tunduk pada konvensi sastra, yang menurut Teew meliputi hal-hal berikut:
1. Teks sastra memiliki unsur atau struktur batin yang bagian-bagiannya saling berkaitan.
2. naskah sastra juga memiliki struktur luar yang terikat oleh bahasa pengarangnya
3. sistem sastra juga merupakan model dunia sekunder, yang sangat kompleks dan bersusun-susun.



BAB III
PEMBAHASAN

1. PERMAINAN KARAKTER
Ada beberapa karakter tokoh yang berubah dan berkembang. Perkembangan dan (atau) perubahannya disebabkan oleh waktu serta situasi.

a. Pada awal cerita, Puti Bungsu digambarkan sebagai seorang wanita yang tengah kebingungan mencari cinta sejatinya. Selanjutnya Puti Bungsu dapat menemukan cintanya atau lebih tepat disebut cinta-cintanya karena lebih dari satu. Puti Bungsu tidak hanya menemukan satu cinta namun ada tiga cinta, yakni Malin Kundang, Malin Deman, dan Malin Duano. Dengan Malin Kundang dan Malin Deman, Puti Bungsu memiliki hubungan persaudaraan, yakni satu ayah. Sedangkan dengan Malin Duano, Puti Bungsu memiliki hubungan yang lebih erat lagi karena Malin Duano sebenarnya adalah anak Puti Bungsu. Karakter Puti Bungsu saat menghadapi anaknya, Malin Duano terlihat berubah. Pada awal ia bersifat layaknya suami-isteri pada Malin Duano. Namun lama-kelamaan Puti Bungsu membongkar identitasnya sebagai ibu Malin Duano. Pada saat itulah sifatnya berubah. Ia ingin Malin Duano menghormati dirinya sebagai seorang ibu.

b. Pada tokoh Lelaki. Sifat tokoh lelaki pada Ibu II sangat berbeda dengan sifatnya saat menghadapi Ibu I. Padahal kedua wanita itu adalah isterinya. Pada Ibu II, Lelaki bersikeras akan pergi. Sedemikian rupa Ibu II melarang Lelaki pergi, tetap saja ia pergi meninggalkan Ibu II dan anaknya, Malin Kundang. Saat Lelaki datang menghampiri Ibu I, ia seolah berada dalam posisi seperti Ibu II, yang melarang pasangannya untuk pergi. Bersama. Dan Ibu I seolah berada dalam posisi Lelaki (saat berhadapan dengan Ibu II) yang bersikeras akan pergi meninggalkan pasangannya. Permainan karakter yang demikian memang tak jarang ditemui dalam dunia nyata atau dalam cerita-cerita fiksi lainnya.
Karakter laki-laki dalam drama Puti Bungsu adalah sebagai orang minang yang tidak pernah mau direndahkan, apalagi oleh wanita. Karena menurut A.A Navis, bagi orang Minang, berposisi rendah apalagi direndahkan adalah sesuatu yang sangat memalukan. Laki-laki yang ingin mengajak Ibu II pergi menunjukkan sifat orang minang yang ingin hidup tanpa gangguan orang lain sebab ingin berkuasa penuh atas dirinya. Hal ini juga sesuai dengan pendapat A.A Navis: ‘sedang dalam bersama pun orang Minang ingin hidup sendiri, tidak ingin diganggu orang lain, sebab masing-masing ingin menjadi seorang raja kecil yang berkuasa penuh atas dirinya’ .

c. Ditinjau dari kata-kata dan perbuatan yang dilakukan Ibu I dan Ibu II, keduanya terkesan memiliki sifat yang sama. Keduanya memiliki kata-kata yang sama–sama tegas, keras, dan pedas. Kedudukan kedua wanita inilah yang sepertinya memungkinkan perilaku mereka pada tokoh Lelaki menjadi demikian keras.

d. Dalam naskah, tokoh-tokoh seperti Malin Kundang, Malin Deman, Puti Bungsu, dan Malin Duano sebenarnya sadar dan mengetahui bahwa mereka adalah dekonstruksi tokoh-tokoh terkenal dalam cerita rakyat. Hal itu dapat terlihat dalam dialog Malin Kundang berikut:
... dan yang hidup akan dielu-elukan sebagai pembawa yang sah dari patung dewi Aphorodite yang sah dan kemudian kita akan didongengkan lagi sebagai pahlawan dan tokoh yang besar sepanjang sejarah perebutan hak-hak milik.

e. Bila kita melihat secara spesifik seluruh karakter perempuan yang digambarkan dalam naskah Puti Bungsu ini, kita akan menemukan suatu hal yang menarik. Karakter Puti Bungsu, Ibu Indonesia, Ibu II, dan Ibu III yang digambarkan sebagai perempuan yang kebanyakan menyimpang dari adat dan tak mau tunduk pada laki-laki. Karakter perempuan dalam naskah drama ini menggambarkan ketidakpuasan terhadap sistem matriarkal yang terdapat di Minangkabau. Penggambaran karakter perempuan yang menyimpang dari adat dan tata cara konvensional ini menyindir kekuasaan perempuan di Sumatera Barat.

2. TEKNIK PENCERITAAN
Drama Puti Bungsu adalah drama yang kental dengan karakter daerah minangkabau yang menganut matriarkal. Hal ini dapat dilihat dari tokoh Malin Kundang, Malin Deman, dan Malin Dauno yang memusatkan masalahnya di sekitar ibu.
Naskah drama Puti Bungsu ditulis dengan teknik penceritaan yang tidak terlalu ringan. Pembaca naskah drama memang dituntut untuk membayangkan kemungkinan naskah drama ini dipentaskan. Selain memberi hiburan naskah drama ini juga sarat akan unsur estetik. Banyak sekali unsur seni yang ikut terlibat di dalamnya selain seni teater yang merupakan tajuk sebuah naskah drama. Seni-seni yang diikutkan dalam pengisahan cerita dalam naskah drama ini antara lain seni suara, seni musik, seni tari, dan seni sastra.
Seni suara digunakan dalam dialog-dialog yang dinyanyikan oleh koor dan pimpinan koor. Mereka banyak ambil bagian dalam pengisahan cerita dan mereka adalah salah satu unsur yang menghidupkan cerita dalam naskah drama karena kehadiran mereka tidak hanya dalam bentuk suara namun juga dalam bentuk fisik ikut maju ke panggung menari-nari sambil bernyanyi. Seni musik digunakan dalam memberikan efek-efek suara untuk membangun suasana. Seperti suasana perang, romantis, dll. Seni sastra jelas terlihat dari diksi dialog semua tokoh dalam naskah drama. Koor-koor juga sangat menghidupkan suasana drama dan seting cerita. Koor juga secara langsung ataupun tidak berperan sebagai narator.
Walaupun tekhnik penceritaan dilakukan dengan mendekonstruksi cerita rakyat minang, namun kedudukan cerita rakyat tidak terganggu, tetap di posisinya sebagai cerita yang dipercaya dan melegenda di Minangkabau.





UNSUR INTRINSIK

1. Tema
Tema naskah drama Puti Bungsu ini adalah kritik sosial di masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari karakter seluruh tokoh dalam naskah. Karakter perempuan dalam naskah drama ini menggambarkan ketidakpuasan terhadap sistem matriarkal yang terdapat di Minangkabau. Penggambaran karakter perempuan yang menyimpang dari adat dan tata cara konvensional ini menyindir kekuasaan perempuan di Sumatera Barat. Mereka semua menginginkan adanya perubahan dalam hidup walaupun perubahan-perubahan mereka itu tidak sesuai dengan adat ataupun aturan konvensional yang berlaku.
Bila dilihat secara utuh pun naskah drama ini memang merupakan suatu perombakkan beberapa cerita rakyat yang sudah mengakar dalam masyarakat. Cerita rakyat tersebut diperbaharui menjadi suatu cerita baru yang jauh menyimpang dari cerita asal dan menyimpang dari adat dan moral.

2. Alur
Alur yang digunakan dalam naskah “Puti Bungsu” ini adalah alur maju. Semua pengisahan cerita dilakukan secara kronologis, dari awal hingga akhir.

3. Penokohan
Puti Bungsu : Nama tokoh cerita Minangkabau. Namun dalam naskah, Puti Bungsu digambarkan sebagai seorang waita yang menikah dengan banyak lelaki yang dalam istilah modern disebut poliandri. Yang mengejutkan, Puti Bungsu juga menikah dengan anaknya sendiri, Malin Duano. Sebagai seorang isteri, Puti Bungsu adalah seorang wanita yang penuh kasih sayang dan romantis. Puti Bungsu juga sangat mencintai dan setia pada ayahnya, Lelaki.

Malin Deman : Ia adalah anak dari hasil perkawinan Lelaki dan Ibu I. Beranjak dewasa ia tumbuh sebagai pemuda yang kekar. Namun tutur kata Malin Deman sangat kasar. Ia sering mengucapkan kata-kata yang tidak sepatutnya ia katakan. Ia juga pemurung, terlihat dalam dialog :
Aku pemurung, tapi siapa yang harus disalahkan? Tubuhku?
Karena ibunya (Ibu I) pergi meninggalkannya sewaktu kecil, maka ia sangat merindukan sosok ibu. Ia juga selalu menanyakan keberadaan ibunya pada Lelaki dan akhirnya ia pergi meninggalkan ayahnya untuk mencari ibunya.

Malin Kundang : Ia sangat merindukan sosok ayah dalam hidupnya. Dengan segala daya upaya Malin Kundang bertanya kepada ibunya siapa ayahnya. Malin Kundang dapat dikatakan sebagai seorang lelaki yang penuh optimisme. Ia yakin dapat mencari ayahnya dan dapat membawa ayahnya (Lelaki) untuk pulang. Malin Kundang juga sangat mencintai kedua orangtuanya. Selanjutnya Malin Kundang menjadi suami sah Puti Bungsu. Ketika menghadapi suatu masalah dan harus menyelesaikan masalah itu dengan berkelahi, Malin Kundang lebih memilih untuk berdamai dan tidak mengutamakan kekerasan.

Malin Duano : Ia adalah anak Puti Bungsu dan seorang penyair yang gemar membacakan puisi-puisi karangannya sendiri. Malin Duano sangat mengagumi sosok Malin Kundang dalam tokoh cerita rakyat. Ia bahkan mengaku-ngaku sebagai Malin Kundang. Malin Duano memiliki sikap keras kepala dan sombong. Ia adalah sosok yang tidak peduli dan tidak menghormati kedua orangtuanya. Hal ini disebabkan dirinya yang sejak kecil tidak oleh orangtuanya. Baginya, orangtua tidak ikut ambil bagian dalam kehidupannya dan tidak berarti sama sekali. Malin Duano merubah namanya menjadi Christian, mungkin baginya untuk menutupi masa lalunya sebagai putera Minangkabau dan menikah dengan Puti Bungsu yang juga merubah namanya menjadi Tantri.

Lelaki: Ia adalah seorang lelaki yang memiliki 3 orang isteri, yakni Ibu I, Ibu II, dan Ibu III sehingga bahwa dapat dikatakan bahwa ia bukanlah seorang lelaki yang setia. Ia juga adalah seorang pembohong karena telah membohongi Ibu I. Seorang lelaki keras kepala yang selalu ingin bebas dari adat daerahnya ini membenci semua wanita yang pernah dikawininya karena semua wanita itu kini tak lagi mau menuruti segala kemauannya. Ia sangat tidak ingin kedudukannya sebagai laki-laki berada di bawah wanita dan di bawah aturan adat yang seakan selalu membelenggunya.
“Memang kau tidak akan pernah tahu bagaimana mamak-mamak Malin Kundang menghina kelelaki-lakianku. Memang kau tidak akan pernah tahu bagaimana hati lelaki mendidih di depan penghinaan secara adat hak-hak pribadi.”
Di luar segala sifat keras dan sombongnya, sebenarnya Lelaki memiliki sifat sendu karena ia selalu rindu dan haus akan sosok seorang ibu. Ia selalu mencari sosok ibu pada diri wanita-wanita yang dinikahinya dan pada anaknya.

Ibu II : Ia adalah wanita yang dihamili oleh Lelaki saat Lelaki sudah memiliki isteri dan anak. Ia adalah ibu yang melahirkan Malin Kundang. Ibu II memiliki sifat keras kepala, tidak mau mengalah, dan tidak patuh pada suami. Ia sangat menyayangi anaknya, Malin Kundang. Sebagai seorang wanita ia memiliki kata-kata yang tegas dan pedas.

Mengapa harus marah? Apakah kau anggap aku sebagai isteri harus begitu saja menurutkan jalan pikiran suami dengan mematikan hakku untuk memilih? Apakah kata—suami—buatmu untuk meletakkan dasat Tirani yang baru?

Walaupun secara tegas ia mempu ditinggal pergi suaminya, namun Ibu II tidak sepenuhnya ikhlas melepas kepergian suaminya. Hingga Malin Kundang besar, Ibu II tetap mengenang Lelaki, walaupun yang dikenang adalah sifat buruknya.

Ibu I : Ia adalah ibu yang melahirkan Malin Deman. Sebagai isteri sah Lelaki ia sebenarnya ingin banyak menuntut haknya sebagai seorang istri kepada Lelaki. Ia berkeras meninggalkan Lelaki yang telah mengkhianatinya. Akhirnya ia pergi meninggalkan Malin deman dan Lelaki. Ia juga adalah wanita yang memiliki kata-kata yang tajam.

Ibu III : Ia adalah tokoh yang paling sedikit berdialog, namun perannya sebagai ibu Puti Bungsu sangatlah penting. Ia memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan Ibu I dan Ibu II.

4. Pelataran / setting
Seting untuk naskah drama Puti Bungsu ini adalah sebuah ruangan yang ditata sederhana saja karena yang membangun cerita dalam naskah Puti Bungsu ini adalah interaksi dan dialog antar pemainnya. Lebih jelasnya, latar dalam naskah drama ini adalah di daerah Minangkabau, yang segala sesuatunya bergaya khas Minang. Ada adegan yang berseting pantai, rumah, luar rumah dengan seting pedesaan, dll.

5. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam naskah “Puti Bungsu” ini adalah bahasa Indonesia yang dicampur dengan dialek Minangkabau. Pemilihan kata atau diksi pada dialog naskah sangatlah detail dan mengena. Setiap kata-kata dalam dialog bukanlah ungkapan yang tegas dan lugas, namun makna yang terkandung jauh lebih dalam.
Contoh:
Malin Kundang: Terlalu banyak aku berkelahi dengan diriku dan dengan orang lain aku memerlukan keakraban.
Naskah drama tak jarang menggunakan majas atau ungkapan dalam dialog-dialog pemainnya. Permainan kata-kata dalam dialog membuat setiap tokoh seolah sangat pandai bertutur kata apik secara spontan.
Selain itu ada yang menarik dari segi bahasa. Dalam dialog Malin Duano ada beberapa kata yang seakan menyimpang dari bahasa yang digunakan dalam naskah secara keseluruhan. Malin Duano mengatakan: Ya! Akibat dari kegagalan kedua orangtuaku, dan kesombongan yang bertumpuk segede gunung. Di mana letak kemanusiannya? Di mana? Maaf. Aku lagi emosi dengan masa kecilku.
Kata segede dan lagi dalam kalimat di atas adalah kata dalam ragam cakapan yang biasanya digunakan oleh orang-orang betawi. Agak aneh jika Malin Duano yang dalam konteks Minangkabau ini mengucapkan kata-kata tersebut.

6. Moral/amanat
Naskah”Puti Bungsu” mengandung beberapa amanat yang dapat diambil oleh pembaca naskah atau penonton drama (jika naskah ini dipentaskan). Beberapa amanat tersebut adalah:
a. Tidak menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan. Ketika Malin Kundang dan Malin Demam hendak terlibat suatu perkelahian. Keduanya tidak berkelahi dengan adu otot atau dengan berkelahi secara fisik, namun dengan berpelukan. Malin Kundang menyebut perkelahian ala mereka itu adalah perkelahian kontemporer. Kontemporer yang berarti pada masa kini itu menunjukkan bahwa manusia pada zaman sekarang harus mengutamakan otaknya dalam menyelesaikan suatu masalah. Dan tidak mengedepankan kontak fisik yang sebenarnya tidak dapat meyelesaikan suatu masalah.

b. Tidak menggunakan moral sebagai suatu alat untuk menghakimi orang lain dengan seenaknya. Hal ini terlihat dalam dialog Malin Duano:

Ya. Malin Kundang adalah lambang. Lambang kenaifan manusia yang dikeroyok beramai-ramai oleh moral., tata cara dan sopan santun. Malin Kundang telah memberikan pesan secara jelas pada kita tentang eksistensi manusia. Diucapkannya di ujung zamannya secara jelas.

Pengeroyokan oleh moral yang dimaksudkan adalah bahwa semua orang yang mengetahui cerita rakyat Malin Kundang dan mengetahui kedurhakaannya pada sang ibu akan segera mencacinya dan menghina Malin Kundang. Padahal tidak ada yang dapat memastikan bagaimana sifat Malin Kundang, bagaimana sifat ibunya, dan apakah cerita itu benar adanya. Dalam kehidupan nyata pengeroyokan dengan moral ini dapat terlihat dalam peristiwa pengeroyokan pencuri oleh massa yang main hakim sendiri.

c. Harus setia pada pasangan. Dalam drama Puti Bungsu digambarkan rumitnya permasalahan yang terjadi akibat adanya poligami dan poliandri. Secara tersirat dan tersurat hal tersebut menujukkan kepada pembaca/penikmat drama bahwa sudah selayaknya manusia hanya memiliki satu pasangan saja karena manusia tidak akan pernah dapat bersifat adil menghadapi orang yang satu dengan orang yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wibiya widget

persahabatan

persahabatan
sahabat adalah orang yang menerima segala kelebihan dan kesederhanaan kita