google BUZZ

Jumat, 18 Juni 2010

Cerpen : Aku Membutuhkan Bebanmu



Hari ini ia memelukku lagi. Ia membagi beban hidupnya dan berkata bahwa ia sangat membutuhkanku. Ia tak tahu, justru aku yang membutuhkannya. Aku membutuhkan pelukan seorang sahabat seperti ini.
***
Ketika duduk di bangku kuliah, aku baru menyadari makna persahabatan yang sesungguhya. Bukan karena aku mendapatkan sahabat sejati saat kuliah, justru sebaliknya. Aku tidak memiliki seorang pun yang dapat kusebut sebagai sahabat.
Kumpulanku dan tiga orang teman mungkin lebih cocok disebut sebagai koloni. Kami berempat berteman, kompak, dan seakan-akan sehidup-semati-sepenanggungan. Itu yang terlihat dari luar. Namun bila ditelisik lebih dalam. Kami hanyalah kumpulan yang terpaksa berkumpul. Kami berkumpul bukan karena kami ingin bersatu, namun karena kami harus berkumpul agar tidak sendirian.
Di sudut lain aku sering melihat seorang teman yang duduk sendirian., Aku mengenalnya, namanya Nura. Ia pun mengenalku. Nura tak pernah tersenyum padaku, entah mengapa aku ingin sekali melihat senyumnya sekali saja.
***
Suatu ketika aku menghampirinya dan segera disambut raut wajah dingin dan pandangan mata yang seolah mengusirku. Aku canggung, namun enggan untuk pergi. Pandangan itu tiba-tiba berubah menjadi sendu. Beberapa saat kami hanya diam. Dan aku mengambil kesempatan itu untuk duduk di sampingnya.
Nura segera memelukku.
Aku terpaku canggung dipelukannya. Terasa aneh. Aku bingung harus bagaimana dan dimana meletakkan tanganku. Aku juga bingung bagaimana memulai percakapan dengannya. Ini adalah situasi yang belum pernah aku temui. Kami belum lama mengenal. Kami baru saling bercerita lewat tatap. Tapi ia sudah memelukku seerat ini.
Nura kemudian melepas peluknya. Matanya merah basah. Tanpa ditanya ia menceritakan seluruh masalah yang tengah dialaminya. Ayahnya sakit parah dan ia tak memiliki uang sepeser pun untuk membiayai pengobatan ayahnya. Ibunya tak berdaya, hanya dapat menangis. Kakaknya yang sudah berkeluarga seperti tak peduli dengan kondisi orangtuanya. Aku prihatin mendengar kisahnya. Mataku berkaca-kaca. Tapi tak kan kubiarkan menetes karena itu akan meneteskan juga air matanya.
“Ayahku memang sakit. Tapi bukan itu yang membuatku sedih,“ kata Nura kemudian. “Tak ada orang yang peduli lagi kepadaku. Ibuku kini hanya sibuk mengurusi ayah. Ayah sibuk dengan penyakitnya. Kakakku sibuk dengan keluarganya, dan aku sendirian. Kini tak ada yang peduli kepadaku ....”
Aku terdiam. Aku bingung. Apa isi kepala Nura? Bagaimana bisa ia senaif itu memosisikan dirinya dalam masalah besar yang tengah dialaminya ini. Ia lari dari masalah, dan dengan egoisnya menyalahkan semua keluarganya.
Aku tak dapat menerima keluhnya tadi, terlebih ketika ia mengatakan bahwa ayahnya sibuk dengan penyakitnya. Ya Tuhan, ia tak sedikitpun peduli dengan penderitaan ayahnya.
Belum sempat aku berkata, Nura memelukku lagi. Kencang, seperti takut aku akan lari. Tangisnya pecah. Aku hanya diam, kaku, dan tak berusaha merubah posisi dudukku. Lama-lama aku larut dalam tangisnya. Mungkin bila aku dalam posisinya aku juga akan merasa sedih, tapi bukan karena alasan yang sama dengan Nura.
“Ayahku sakit. Aku panik. Bukan karena ayah sakit. Tapi karena orang-orang panik. Aku sedih. Bukan karena ayah sakit. Tapi karena tak ada lagi yang memperhatikanku di rumah. Apa aku tidak punya hati? Aku sayang ayah. Belum lama aku sayang ayah. Lama aku belajar mencintainya. Aku pun tengah belajar mencintaimu.”
“Aku ingin sakit saja seperti ayah. Dengan begitu orang-orang akan memperhatikanku.” Kata Nura lagi.
Aku melihat matanya yang kosong. Ada sejuta tanda tanya di sana. Dan kutemukan tanda tanya besar mengenai persahabatan. Bahwa ia tak pernah menemukan orang lain sebagai sahabat untuk tempat berbagi. Tapi tanda tanya terbesar itu kutemukan di hatiku. Bahwa akulah yang tak pernah menemukan orang lain sebagai sahabat untuk tempat berbagi.
Di akhir perjumpaan awal itu ia memelukku lagi. Pelukkannya masih terasa canggung bagiku. Karena tak pernah sebelumnya aku berbagi pundak dengan temanku. Ternyata berpelukan dengan teman, rasanya seperti berbagi beban. Bukan hanya bebannya yang terangkat. Tapi bebanku juga. Beban akan kehausan memiliki tempat berbagi beban. Nura tersenyum ketika memelukku. Akhirnya aku melihat senyumnya. Senyum sahabatku, yang belakangan aku tahu bahwa ia adalah seorang penderita penyakit kejiwaan. 

 Rosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wibiya widget

persahabatan

persahabatan
sahabat adalah orang yang menerima segala kelebihan dan kesederhanaan kita